TAHLIL DALAM PENDEKATAN NORMATIF ISLAM
Oleh : Ahmadun, S.Ag, M.S.I
Kepala MA Salafiyah Pekalongan ( Ahmadun, S.Ag, M.S.I ) berdampingan dengan Staff Khusus Kepresidenan SBY Bidang Hukum ( Bapak DENI INDRAYANA )
untuk menandatangani Buku Indonesia Optimis
A. Konsep Tahlil
Konsep tahlil dalam Quran memang tidak pernah disebut. Namun demikian, secara etimologi kata tahlil yang merupakan fi’il madli dari hallala yang mengandung arti membaca kalimat laa ilaaha illallah atau membaca nama Allah. Dengan kata lain, konsep tahlil pada hakikatnnya sama dengan membaca kalimat thoyyibah atau membaca kalimat dzikir. Dalam Qur’an perintah membaca, menyebut atau mengingat atau mengingat Allah selalu dipakai kata dzikran/udzkur.
Keutamaan berdzikir yang disebut dalam berbagai ayat yang berjumlah kurang lebih 54 ayat menegaskan bahwa aktivitas dzikir merupakan aktivitas yang sangat penting dan sangat dianjurkan oelh Allah. Pentingnya berdzikir juga ditegaskan dalam berbagai hadis Rasululah yang sedikitnya berjumlah 41 hadis. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dzikir merupakan aktivitas keagamaan yang mempunyai banyak keutamaan. Selain dipandang sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sarana berdo’a, sarana membebaskan diri dari berbagai dosa, secara normatif dzikir dapat pula dipakai sebagai indikator utama dalam dimensi keimanan seorang muslim.
Tahlil dapat didefinisikan sebagai aktivitas keagamaan dengan mengucap kalimah thoyyibah, membaca ayat-ayat Qur’an, membaca do’a-do’a tertentu dengan urutan-urutan tertentu, pola-pola tertentu dan waktu-waktu tertentu.
B. Tahlil dalam tinjauan Normatif
Meskipun secara tradisi kegiatan tahlil sudah dilakukan hampir disetiap daerah di Indonesia , namun keberadaannya belum bisa diterima oleh semua lapisan umat Islam. Di satu sisi, sebagian umat Islam berpandangan tahlil tidak ada dasarnya. Sebaliknya, sebagian umat Islam berpandangan bahwa tahlil merupakan salah satu tuntunan Rasulullah. Dilihat dari konteks tersebut, perbedaan pemahaman tentang tahlil memang menjadi tajam. Bahwa kerangka hukum bidah dengan dianjurkan adalah dua hal yang bertentangan.
Pengertian bid’ah dalam konteks rumusan hukum Islam pada dasarnya sangat beragam. Perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah yang berkaitan dengan kebaikan atas dasar prakarsa dan tidak bertentangan dengan kaidah hukum syariat (berdosa), maka prakarsa dapat dinilai baik dan dapat diterima. Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji ) dan bid’ah madzmumah (tercela.)
Keberadaan tahli dianggap bid’ah oleh sebagian kalangan, namun para ulama ahlussunnah memberikan argumentasinya bahwa Rasulullah bersabda “ Barangsiapa membuat sunnah (tradisi) yang baik, baginya pahala, dan pahala orang yang melaksanakannya”. Salah satu alasan bahwa tradisi yang dapat dipandang baik , dan tidak melanggar hukum Islam, bertujuan baik, mampu mengembangkan dan membangkitkan etos keagamaan, maka tradisi tersebut tidaklah termasuk kategori bid’ah, meskipun tradisi tersebut tidak pernah ada pada zaman Rasulullah.
Banyak hadis-hadis yang menjelaskan perintah dan anjuran untuk membaca kalimah thoyyibah serta mendoakan sesama muslim baik yang sudah mati maupun yang masih hidup. Di antaranya Ahmad ibn Hanbal didalam musnadnya, oleh Abu Daud, An-Nasa’i dan dibenarkan oleh Ibnu Hibban, bahwa Rasulullah pernah bersabda “ Bacalah Yaa Siin bagi orang-orang yang telah wafat diantara kalian’. Hadis riwayat Abu Hurairah juga menyatakan , Barangsiapa yang berziarah ke kuburan kemudian membaca al-Fatihah, Qulhuwallahu Ahad dll, kemudian ia berdo’a,Ya Allah kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu kepada kaum muslimin dan mukminin penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolonng baginya (pemberi Syafaat) pada hari kiamat.
Dengan demikian jelaslah bahwa keberadaan tahlil tidak hanya sekedar ibadah ritual yang mengadopsi terhadap budaya lokal indonesia, melainkan jelas-jelas dianjurkan oleh norma-norma agama ( Quran dan Hadis).
Sebagaimana yang sudah sebutkan diatas, keberadaan tahlil sudah jelas. Tidak hanya sekedar aktivitas ritual yang mengadopsi budaya lokal Indonesia , melainkan juga jelas-jelas dianjurkan dalam norma agama. Di samping ada tuntunannya secara jelas dalam norma agama dan kesesuaian dengan sosial budaya Indonesia, tahlil mempunyai beberapa manfaat yang bisa ditinjau dari berbagai dimensi diantaranya :
a. Dimensi Kultural
Adalah sebuah realitas jika tidak semua warga muslim memahami betul persoalan keagamaan dalam arti bahwa semua aktivitas keagamaan yang dlakukan didasarkan oleh interpretasi hukum yang ia yakini. Tidak jarang bahwa keterlibatan mereka dalam aktivitas keagamaan hanya didasarkan pada tradisi yang berkembang dilingkungannya. Bahkan banyak umat Islam yang cara pandang keagamaannya lebih mendasarkan pada filosofi kultural. Mereka memaknai teks agama tidak hanya secara harfiah melainkan dengan pendekatan rasional yang memakai penafsiran metaforis.
Munculnya filosofi kultural memang tidak lepas dari kerajaan-kerajaan Jawa Islam, terutama pengaruh tradisi lokal di masyarakat sebelum masuknya Islam. Tradisi inilah yang pada akhirnya menimbulkan perkawinan Islam dengan tradisi lokal.
Adanya tradisi slametan yang di dalam ada tahlil, oleh orang jawa diartikan sebagai sarana untuk memperoleh keselamatan hidup. Makna ini kemudian disetarakan dengan pemaknaan Islam yang berarti selamat. Karena itu masyarakat muslim masih memegang kuat tradisi kultural jawa. Karena mereka memandang bahwa rumusan Selamat dan Islam, keduanya mempunyai esensi makna yang sama, yaitu sama-sama mencari keselamatan hidup, baik didunia maupun diakherat.
b. Dimensi Sosial Kemasyarakatan
Keberadaan Tahlil tidak semata-mata hanya kegiatan ritual keagamaan, tetapi tidak jarang justru dijadikan ajang sebagai alat untuk mempererat ikatan persaudaraan pada suatu komunitas. Kenyatan yang ada aktivitas tahlil mampu mempersatukan sebuah kampung dan mampu membangkitkan potensi sosial. Sehingga tidak jarang suatu perkumpulan tahlil mampu menghimpun dana yang dipakai tidak hanya untuk kepentingan jamaah (Pengeras Suara, Tikar, membangun Masjid atau musholla dll) , namun juga dana yang terkumpul digunakan untuk menyantuni kaum lemah, orang sakit, memberi beasiswa bagi anak yang kurang mampu dan sebagainya.
Kegiatan tahlil yang terjadi dimasyarakat mampu mempererat tali persaudaran antar sesama warga juga penghormatan dan doa kepada saudaranya yang telah meninggal. Dengan demikian, tahlil dipandang mampu menembus ukhuwah tidak hanya bagi masyarakat yang masih hidup, namun juga bagi orang yang sudah meninggal.
c. Dimensi Dakwah
Agama Islam menganjurkan kepada umatnya untuk tidak henti-hentinya selalu menyampaikan risalah Allah melalui nabi Muhammad. Demi kesuksesan penyampaian risalah tersebut, perlu dibuat formula yang sangat tepat, efektif dan efesien.
Tahlil merupakan sarana yang sangat tepat digunakan menyampaikan risalah Allah atau dogma-dogma Agama. Hal yang sudah menjadi kebiasaan dalam kegiatan tahlil adalah dihadiri oleh banyak orang, ada momen-momen penting dalam hidup. Kesempatan inilah dakwah dapat dilakukan yang disesuaikan dengan situasi, kondisi dan momen tertentu.
d. Dimensi Taqorrub ilallah
Sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, konsep tahlil adalah sama dengan dzikir, walaupun bentuknya sudah dikemas sedemikian rupa. Dengan memperbanyak membaca tahlil secara otomatis juga banyak berdzikir dan mengingat Allah. Ini adalah sarana hamba mendekatkan diri pada khalik-Nya. D isamping itu, dengan melakukan tahlil manusia akan selalu diingatkan akan dzat yang yang Maha tunggal. Tidak ada sesuatu yang menyerupai atau menyamai-Nya.
Dengan Tahlil manusia selalu diingatkan akan kematian. Kematian merupakan suatu yang pasti akan terjadi pada manusia. Manusia yang selalu ingat akan hakekat ia diciptakan, maka akan berimbas kepada prilaku kesehariannya yang tidak akan sombong, saling tolong, menjaga Tauhid taat pada ajaran agama dan sebagainya.
izin mengutip dan copas ya Pak..
BalasHapus